Latar Belakang
Sarana tumbuh ialah semua faktor yang memilih atau mendukung pertumbuhan, mencakup unsur hara, air, sinar matahari, ruang hidup, dan faktor lainnya. Dalam suatu lahan, biasanya terdapat persaingan dalam memperoleh sarana tumbuh tersebut antara tumbuhan pokok dengan gulma.
Persaingan (competition) diartikan sebagai usaha dua organism atau lebih untuk memperebutkan obyek yang sama, baik gulma maupun tumbuhan mempunyai keperluan dasar yang sama untuk pertumbuhan dan perkembangan normal yaitu unsure hara, air, cahaya, materi ruang tumbuh, dan CO2 (Yernelis Sukman dan Yakup, 1995). Beberapa penelitian memperlihatkan kekerabatan negatif antara bobot kering gulma dan hasil jagung, dengan penurunan hasil sampai 95% (Violic 2000). Jagung yang ditanam secara monokultur dan dengan masukan rendah tidak memperlihatkan hasil jawaban persaingan intensif dengan gulma (Clay and Aquilar, 1998)
Pada stadia lanjut pertumbuhan jagung, gulma sanggup menimbulkan kerugian jikalau terjadi cekaman air dan hara, atau gulma tumbuh pesat dan menaungi tumbuhan (Lafitte, 1994). Di banyak kawasan pertanaman jagung, air merupakan faktor pembatas. Kekeringan yang terjadi pada stadia awal pertumbuhan vegetatif sanggup menimbulkan selesai hidup tanaman. Kehadiran gulma pada stadia ini memperburuk kondisi cekaman air selama periode kritis, dua ahad sebelum dan setelah pembungaan. Pada dikala itu tumbuhan rentan terhadap persaingan dengan gulma (Violic, 2000).
Lebih lanjut, gulma sanggup mengeluarkan senyawa alelopati. pembusukan vegetasi. Senyawa allelopati menghambat perkecambahan benih tanaman, dan menghambat perpanjangan akar sehingga menimbulkan kekacauan sellular dalam akar (Anderson 1977 dalam Violic 2000). Allelopati Beberapa spesies gulma menimbulkan kerusakan lebih besar pada tumbuhan alasannya adanya materi toksik yang dilepaskan dan meneka pertumbuhan jagung. Spesies gulma yang dilaporkan menghasilkan baha allelopati sanggup dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Gulma yang umum dijumpai pada pertanaman jagung yang mengeluarkan senyawa allelopati.
Nama ilmiah | Nama umum |
Abutilon theophrasti Agropyron repens Amaranthus sp. Ambrosia sp. Avene fatua Brassica sp. Chenopodium album Cynodon dactilon Cyperus esculentus Cyperus rotundus Digitaria sanguinalis Echinochloa crusgalli Helianthus annuus Imperata cylindrical Poa sp. Porulaca oleracea Rattboelia exaltata Setaria faberi Sorghum helepense | Velvetleaf Quackgrass Pigweed/Bayam Ragweed Wild oat Mustard Common lambsquarters Bermuda grass/Grintingan Yellow nutsedge Purple nutsedge/Teki Crabgrass/Genjoran Barnyardgrass/Padi burung Sunflower/Bunga matahari Speargrass/Alang-alang Bluegrass Common purslane/Gelang Itchy grass/Branjangan Giant fostail Johnsongrass |
Sumber: Duke (1985) dalam Lafitte (1994), Laumonier et al. (1986).
Senyawa allelopati menghambat perkecambahan benih tanaman, dan menghambat perpanjangan akar sehingga menimbulkan kekacauan sellular dalam akar (Anderson 1977 dalam Violic 2000).
PENGENDALIAN
Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu tercapainya tingkat hasil jagung yang tinggi. Gulma sanggup dikendalikan melalui banyak sekali hukum dan karantina; secara biologi dengan memakai organisme hidup; secara fisik dengan mengkremasi dan menggenangi, melalui kebijaksanaan daya dengan pergiliran tanaman, peningkatan daya saing dan penggunaan mulsa; secara mekanis dengan mencabut, membabat, menginjak, menyiang dengan tangan, dan mengolah tanah dengan alat mekanis bermesin dan nonmesin, secara kimiawi memakai herbisida. Gulma pada pertanaman jagung umumnya dikendalikan dengan cara mekanis dan kimiawi. Pengendalian gulma secara kimiawi berpotensi merusak lingkungan sehingga perlu dibatasi melalui pemaduan dengan cara pengendalian lainnya.
Pengendalian secara Mekanis
Secara tradisional petani mengendalikan gulma dengan pengolahan tanah konvensional dan penyiangan dengan tangan. Pengolahan tanah konvensional dilakukan dengan membajak, menyisir dan meratakan tanah,menggunakan tenaga ternak dan mesin. Untuk menghemat biaya, pada pertanaman kedua petani tidak mengolah tanah. Sebagian petani bahkantidak mengolah tanah sama sekali. Lahan disiapkan dengan mematikangulma memakai herbisida. Pada usahatani jagung yang menerapkan sistem olah tanah konservasi, pengolahan tanah banyak dikurangi, atau bahkan dihilangkan sama sekali. Pada tanah Podzolik Merah Kuning (PMK) Lampung, hasil jagung tanpa olah tanah masih tetap tinggi sampai demam isu tanam ke-10 (Utomo 1997).
Pembajakan dan penggaruan sanggup secara berangsur dikurangi dan diganti dengan penggunaan herbisida atau pengelolaan mulsa dari sisa tumbuhan dan gulma dalam sistem pengolahan tanah konservasi. Ketersediaan herbisida juga memungkinkan pemanfaatan lahan marjinal dan Fadhly dan Tabri: Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung 243 lahan miring yang bersifat sangat ringkih terhadap pengolahan tanah konvensional. Penggunaan herbisida memungkinkan penanaman jagung pribadi pada barisan tumbuhan tanpa olah tanah.
Pengendalian dengan Herbisida
Herbisida mempunyai efektivitas yang beragam. Berdasarkan cara kerjanya, herbisida kontak mematikan pecahan flora yang terkena herbisida, dan herbisida sistemik mematikan setelah diserap dan ditranslokasikan ke seluruh pecahan gulma. Menurut jenis gulma yang dimatikan ada herbisida selektif yang mematikan gulma tertentu atau spektrum sempit, dan herbisida nonselektif yang mematikan banyak jenis gulma atau spektrum lebar.
Herbisida berbahan aktif glifosat, paraquat, dan 2,4-D banyak dipakai petani, sehingga banyak formulasi yang memakai materi aktif tersebut. Glifosat yang disemprotkan ke daun efektif mengendalikan gulma rumputan tahunan dan gulma berdaun lebar tahunan, gulma rumput setahun, dan gulma berdaun lebar. Senyawa glifosat sangat mobil, ditranslokasikan ke seluruh pecahan tumbuhan ketika diaplikasi pada daun, dan cepat terurai dalam tanah. Gejala keracunan berkembang lambat dan terlihat 1-3 ahad setelah aplikasi (Klingman et al. 1975).
Pengendalian secara Terpadu Kepedulian terhadap lingkungan melahirkan sistem pengelolaan terpadu gulma yang meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari interaksi antara tumbuhan dan gulma, terutama kemampuan persaingan relatif dari tumbuhan selamaberbagai fase perkembangan gulma. Pengelolaan gulma harus dipadukan dengan aspek kebijaksanaan daya, termasuk pengolahan tanah, pergiliran tanaman, dan pengendalian gulma itu sendiri. Pengelolaan gulma terpadu merupakan konsep yang mengutamakan pengendalian secara alami dengan membuat keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan gulma dan meningkatkan daya saing tumbuhan terhadap gulma. Ada beberapa hal yang perlu menerima perhatian dalam pengendalian secara terpadu: (1) pengendalian gulma secara pribadi dilakukan dengan cara fisik, kimia, dan biologi, dan secara tidak pribadi melalui peningkatan daya saing tumbuhan melalui perbaikan teknik kebijaksanaan daya, (2) memadukan cara-cara pengendalian tersebut, dan (3) analisis ekonomi praktek pengendalian gulma (Rizal 2004).
Kesimpulan dan Saran
Jagung ialah tumbuhan yang efisien dalam penggunaan sarana tumbuh. Semakin besar jarak tanam maka semakin besar pula kesempatan gulma untuk tumbuh dan berkembang serta memperolah hara. Sedangkan semakin kecil jarak tanam maka persaingan antar tumbuhan pokok akan meningkat. Untuk meningkatkan daya saing jagung terhadap gulma dan mengoptimumkan perolehan sarana tumbuh pada jagung maka jarak yang sanggup diterapkan yaitu P2 (80 cm x 20 cm) dan P3 (80 cm x 30 cm). Jarak tanam ideal untuk jagung yaitu berada diantara P2 (80 cm x 20 cm) dan P3 (80 cm x 30 cm).
Sebaiknya dalam pengamatan persaingan sarana tumbuh, komponen yang diamati ditambah dengan analisis vegetasi gulma semoga bobot kering tumbuhan dan gulma sanggup diketahui sehingga sanggup dibandingkan flora mana yang paling banyak menyerap hara secara niscaya (bobot kering menandakan seberapa besar hara yang diserap). Selain itu, pengumpulan data kelas atau kelompok besar hendaknya dilakukan perminggu semoga tidak terjadi keterlambatan dalam pengolahan data, serta praktikan hendaknya lebih teliti dan sungguh dalam pengamatan dan pengumpulan data alasannya itu menyangkut kepentingan banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA
Clay, A.S. and I. Aquilar. 1998. Weed seedbanks and corn growth following continous corn or alfalfa. Agron. J. 90:813-818.
Lafitte, H.R. 1994. Identifying production problems in tropical maize: a field guide. CIMMYT, Mexico , D.F. p.76-84.
Laumonier, E.K.W., R. Megia and H. Veenstra. 1986. The Seedlings In: Soerjani, M., A.I. G. H. Koetermans and G. Tjitrosoepomo (Eds.). Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, p.567-686.
S, Yernelis., Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya (edisi revisi). Jakarta : P.T. Raja Grafino Persada.
Violic, A.D. 2000. Integrated crop menagement. In: R.L. Paliwal, G. Granados, H.R. Lafitte, A.D. Violic, and J.P. Marathee (Eds.). Tropical Maize Improvement and Production. FOA Plant Production and Protection Series, Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome, 28:237-282.
Komentar
Posting Komentar